BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Tabe
(permisi) merupakan budaya yang sangat indah yang ditinggalkan oleh leluhur,
yang mewariskan sopan santun yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga dengan
gerak. Bagaimanapun itu, hal ini perlu tetap dijaga karena tidak hanya
diperuntukkan kepada yang muda melakukan ke yang lebih tua tetapi juga
sebaliknya.
Realita
Saat Ini Adalah budaya tabe’
perlahan-lahan telah luntur dalam masyarakat, khususnya pada kalangan
anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki sikap tabe’ dalam dirinya. Entah karena orangtua mereka tidak
mengajarkannya atau memang karena kontaminasi budaya Barat yang menghilangkan
budaya tabe’ ini. Mereka tidak lagi
menghargai orang yang lebih tua dari mereka. Mereka melewati tanpa permisi,
bahkan kepada orangtua mereka sendiri. Padahal sopan santun itu jika
digunakan akan mencegah banyak keributan, akan mencegah terjadi pertengkaran
dan akan mempererat rasa persaudaraan. Bahkan jika budaya tabe diterapkan dalam
masyarakat maka tidak ada egosentris yang memicu konflik seperti tawuran
pelajar, dan jika dikerucutkan kewilayah anak SD, anak-anak yang mengenal
budaya tabe’ akan berperilaku sopan
dan tidak mengganggu temannya.
Tata
krama ataupun sopan santun hendaknya tidak hilang dalam diri kita. Orang yang
sopan akan disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu sangat penting
mengajarkan budaya tabe’ melalui pola
asuhan keluarga, sekolah dan lingkungan bermain. Karena sopan santun itu tidak
mahal, tidak mengeluarkan banyak biaya. Seorang kakak, ajarkan kepada adiknya
untuk berbuat sopan santun. Tentunya seorang guru, maka wajib untuk mengajarkan kepada
anak didiknya untuk mengajarkan sopan santun karena sekolah adalah gerbang dari
watak seseorang.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah:
1. Apakah filosofi budaya Tabe’?
2. Bagaimana pola asuhan dan penerapan
budaya tabe’ dalam kehidupan
masyarakat bugis?
3. Untuk apa budaya tabe’ diterapkan?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui filosofi budaya tabe’.
2. Untuk mengetahui pola asuhan dan
penerapan budaya tabe’ dalam
masyarakat bugis.
3. Untuk mengetahu nilai- nilai yang
terkandung dalam budaya tabe”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filosofi Budaya Tabe Dalam Masyarakat
Bugis
Kebudayaan
didefenisikan pertama kali oleh EB. Taylor[1] pada tahun 1871 di mana
dalam bukunya Primitive Culture, kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat
serta kemampuan dan kebiasaan lainya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Yang menjadi dasar dari kebudayaan adalah nilai. Di samping nilai
ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan
manusia yang mencerminkan nilai budaya yang di kandungnya. Pada dasarnya tata
hidup merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat
abstrak: kegiatan manusia ini dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai
budaya hanya tertangguk oleh budi manusia. Di samping itu nilai budaya dan tata
hidup manusia ditopang oleh sarana kebudayaan.
Salah
satu kebudayaan bugis yang mengajarkan cara hidup adalah Pangaderreng[2],
pangaderreng adalah sistem
norma dan aturan-aturan adat. Dalam
keseharian suku bugis,
pangaderreng sudah menjadi kebiasaan dalam berinteraksi dengan orang lain yang
harus dijunjung tinggi. Salah satu pangaderreng dalam suku bugis
dikenal dengan budaya tabe’.
Tabe’
adalah minta permisi untuk
melewati arah orang lain, dengan kata-kata “tabe”. kata tabe
tersebut diikuti gerakan tangan kanan turun kebawah mengarah ketanah atau
ketanah. makna
dari perilaku orang bugis seperti demikian adalah bahwa kata tabe simbol
dari upaya menghargai dan menghormati siapapun orang dihadapan kita, kita tidak
boleh berbuat sekehendak hati.
Makna lain dari budaya tabe’ adalah satunya
kata dan perbuatan (Taro Ada Taro Gau),[3]
bahwa orang bugis dalam kehidupan sehari-hari harus berbuat sesuai dengan
perkataan. Antara kata tabe dan
gerakan tubuh (tangan
kanan) harus seiring dan sejalan. sehingga suatu pemaknaan yang dalam orang bugis jauh
lebih dalam lagi.
Rumusan Sikap tabe’ adalah serupa dengan sikap mohon ijin atau mohon permisi
ketika hendak melewati orang-orang yang sedang duduk berjajar terutama bila
yang dilewati adalah orang-orang yang usianya lebih tua ataupun dituakan. Sikap
tabe’ dilakukan dengan melihat pada
orang-orang yang dilewati lalu memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan
sambil sedikit menundukkan badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Sikap
tabe’ dimaksudkan sebagai penghormatan kepada orang lain yang mungkin saja akan
terganggu akibat perbuatan kita meskipun kita tidak bermaksud demikian. Mereka
yang mengerti tentang nilai luhur dalam budaya tabe’ ini biasanya juga akan langsung merespon dengan memberikan
ruang seperti menarik kaki yang bisa saja akan menghalangi atau bahkan terinjak
orang yang lewat, membalas senyuman, memberikan anggukan hingga memberikan
jawaban “ye, de’ megaga” (bahasa bugis) atau dapat diartikan sebagai “iya tidak
apa-apa” atau “silahkan lewat”.
Sekilas
sikap tabe’ terlihat sepele, namun hal ini sangat penting dalam tata krama
masyarakat di daerah Sulawesi Selatan khususnya pada Suku Bugis. Sikap tabe’ dapat memunculkan rasa keakraban
meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu atau tidak saling kenal. Apabila ada
yang melewati orang lain yang sedang duduk sejajar tanpa sikap tabe’ maka yang bersangkutan akan
dianggap tidak mengerti adat sopan santun atau tata krama.
Bila
yang melakukannya adalah anak-anak atau masih muda, maka orang tuanya akan
dianggap tidak mengajari anaknya sopan santun. Oleh karena itu biasanya orang
tua yang melihat anaknya yang melewati orang lain tanpa sikap tabe’ akan
langsung menegur sang anak langsung di depan umum atau orang lain yang
dilewati, sebagaimana yang dilakukan Ayah-Ibu yang menegur saya saat tidak
bersikap tabe’ kala melewati tamu
yang sedang duduk di lantai.
B. Implementasi
Tabe’ Sebagai Tata Krama Masyarakat Bugis
1. Tabe’ sebagai pola asuhan[4]
Pola
berarti corak, model, atau cara kerja, sedangkan asuh berarti menjaga,
mendidik, membimbing dan memimpin. Jadi pola asuhan dalam budaya tabe adalah
pengasuhan dengan menampilkan orang tua sebagai model yang mengargai,
menghormati, dan mengingatkakan, memimpin sesuai dengan budaya tabe yaitu sopan
mendidik anak, sehingga mencertak anak yang berkarakter sopan pula. Sebenarnya,
budaya tabe’ berperan besar dalam
pembentukan karakter anak dalam perkembangan sifat santun dan hormat. Oleh
karena mangaktualkan sikap tabe’ ini
dalam menghormati orang yang lebih tua demi nilai etika dan budaya yang harus
diingat. Sebab tabe’ merupakan sejenis kecerdasan sikap yang memungkinkan terbentuknya
nilai-nilai luhur bangsa atas anak didik atau generasi muda.
Tabe menurut orang bugis merupakan
nilai budaya yang sudah menjadi sebuah karakter yang sarat dengan muatan
pendidikan yang memiliki makna anjuran untuk berbuat baik, bertata krama
melalui ucapan maupun gerak tubuh. Pola asuhan keluarga sangat mempengaruhi
keawetan budaya tabe’ dalam masyarakat bugis. Didikan keluarga akan mencetak
generasi yang beradat, sopan, dan saling menghargai.
2. Implementasi Tabe Dalam kehidupan
sehari hari masyarakat bugis
Menerapkan budaya tabe dengan
implementasi makna konseptual yaitu: tidak menyeret sandal atau menghentakkan
kaki, tetapi dengan mengucapkan salam atau menyapa dengan sopan, juga bahwa
sikap tabe adalah permohonan untuk melintas. Tabe mengoptimasi untuk tidak
berkacak pinggang, dan tidak usil mengganggu orang lain. Tabe berakar sangat
kuat sebagai etika dalam tradisi atau sama halnya seperti pelajaran dalam hidup
yang didasarkan pada akal sehat dan rasa hormaat terhadap sesama.
Budaya
tabe’ sesunggunya sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sehari–hari, terutama
dalam mendidik anak dengan cara mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan
akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’
(permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan
orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa nggih),
jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai
orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya
ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus
direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
C. Nilai-Nilai
yang Terkandung Dalam Budaya Tabe’
Pembangunan
insan yang berbudaya dan bermoral dapat dikembangkan melalui pelestrarian
nilai-nilai luhur dalam budaya tabe’. Adapun nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam budaya tabe adalah yang dikenal dengan falsafah 3-S[5]
sebagai berikut:
ü Sipakatau : mengakui segala hak tanpa memandang status social Ini
bisa juga diartikan sebagai rasa kepedulian sesame.
ü Sipakalebbi : sikap hormat terhadap sesama, senantiasa memperlakukan
orang dengan baik. Budaya tabe menunjukkan bahwa yang ditabe’ki dan yang men’tabe
adalah sama-sama tau (orang) yang dipakalebbi.
ü Sipakainge : tuntunan bagi masyarakat bugis untuk saling mengingatkan.
Demikianlah
kearifan lokal masyarakat masyarakat bugis, Sangat sederhana memang, namun
memiliki makna yang mendalam agar kita saling menghormati dan tidak mengganggu
satu sama lainnya. Daerah-daerah lainnya di Indonesia juga memiliki budaya yang
serupa. Budaya luhur dan kearifan lokal seperti ini sangat perlu dilestarikan
baik dengan mengajarkannya kepada anak-anak dan generasi muda. Kearifan lokal
yang terus dipertahankan akan menjadi jati diri kita sebagai bangsa Indonesia
yang memiliki budaya dan nilai-nilai luhur.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Budaya tabe merupakan
simbol dari upaya menghargai dan menghormati siapapun
orang dihadapan kita, kita tidak boleh berbuat sekehendak hati.
kata tabe
tersebut diikuti gerakan tangan kanan turun kebawah mengarah ketanah atau
ketanah,
dengan melihat pada orang-orang yang
dilewati lalu memberikan senyuman, setelah itu mulai berjalan sambil sedikit
menundukkan badan dan meluruskan tangan disamping lutut. Niilai yang terkandung
dalam budaya tabe adalah, sipakatau (tidak membeda-bedakan semua orang),
sipakalebbi (saling menghormati), sipakainge (saling mengingatkan).
B. SARAN
Budaya
tabe merupakan nilai lokalitas dan nilai luhur yang sangat tinggi sehingga
harus dilestarikan untuk menopang kehidupan yang lebih baik serta tidak hanyut
sebagai danpak modernisasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.angingmamiri.org/www.nusantara
online.com.
dikases rabu, 10 Desember, 02.30 WIB
Koentjaraningrat.
(2010). Manusia dan kebudayaan di
indonesia. Jakarta:djambatan. H.277
Ningsih,
kidding Elvirah.2012. Vhychocolatenurse.blogspot.com. diakses, rabu 10
desember, 01.05 WIB
Suriasumantri,
jujun. S.(2005) Filsafat ilmu.
Jakarta: pustaka sinar harapan. H.261
[1]
Suriasumantri, jujun. S.(2005) Filsafat
ilmu. Jakarta: pustaka sinar harapan. H.261
[2]
Koentjaraningrat. (2010). Manusia dan
kebudayaan di indonesia. Jakarta:djambatan. H.277
[3]
Ningsih, kidding Elvirah.2012. Vhychocolatenurse.blogspot.com. diakses, rabu 10
desember, 01.05 WIB.
[4] http://www.angingmamiri.org/www.nusantara
online.com. dikases rabu, 10 Desember, 02.30 WIB
[5] Ningsih, kidding Elvirah..,op.cit.
1xbet korean | legalbet.co.kr
BalasHapusdana poker, lcb.bet, dana mpoker, sbobet, sbobet, casino online, 바카라 사이트 2bet, 2xbet.bet, cbc poker, baccarat, 1xbet casino septcasino online poker.